Tinggalkan komentar

ARTI KUBU

Suku Anak Dalam dikenal sebagai salah satu etnis asli Melayu sejak ratusan tahun lampau telah hidup menempati kawasan hutan pedalaman Jambi. Kehidupan asli mereka sangat erat kaitannya dengan hutan. Karena hutan bagi mereka selain sebagai sumber mata pencarian dan sebagai wahana pelestarian budaya leluhur juga hutan adalah sebagai kampung halaman. Di dalam hutan mereka dilahirkan, di dalam hutan mereka dibesarkan dan mereka matipun juga di dalam hutan. Pendek kata hutan bagi Orang Dalam adalah hidup dan kehidupannya.

Di dalam perbendaharaan bahasa Melayu Jambi khususnya bahasa Melayu yang dikembangkan oleh Orang Terang memang ada dijumpai kata “Kubu” . Kata Kubu berawal dari kata Ngubu atau Ngubun yang artinya bersembunyi di dalam hutan. Lalu timbul pertanyaan mengapa mereka bersembunyi ke dalam hutan ?.

Dalam pandangan Suku Anak Dalam penduduk Jambi hanya terdiri dari 2 kelompok manusia yakni Orang Dalam disatu pihak dan Orang Terang di pihak lain. Suku Anak Dalam yang dikenal sebagai Suku Kubu sebenarnya mereka sendiri tidak menyebut dirinya kubu, tapi ia menyebut dirinya sebagai Orang Dalam, atau Orang Rimba, atau Orang Kelam. Istilah Orang Kubu atau Suku Kubu adalah istilah yang dikembangkan oleh Orang Terang. Menurut pendapat Orang Dalam di Simpang Sungai Mensio, Lubuk Bedorong, Kabupaten Sarolangun, istilah Kubu itu adalah pendapat Orang Terang yang artinya mondok dalam rimba. Zaman dahulu ada mitos tentang 1 (satu) keluarga Orang Terang masuk hutan terkena sihir karena menghina Kubu. Legenda ini masih hidup dalam masyarakat Jambi.

Istilah Suku Anak Dalam berkembang setelah adanya program pembinaan masyarakat terasing di Propinsi Jambi. Mereka (Orang Dalam) menyebut orang lain di luar budayanya sebagai Orang Terang. Dalam sejarah Jambi, antara Orang Dalam dengan Orang Terang memiliki hubungan kekerabatan (hubungan darah) yakni besanak / sanak. Oleh karena itu Orang Terang sering menyebut Suku Anak Dalam dengan panggilan familiar sebagai Sanak atau Besanak. Besanak atau Sanak artinya bersaudara karena antara keduanya memiliki kesamaan asal-usul, budaya dan adat-istiadat leluhur (bengen), bahasa asli, larang pantang, dan kepercayaan tradisional. Oleh karena itu penulis menggunakan istilah Orang Dalam.

Daerah Jambi sejak ratusan tahun lampau telah dihuni oleh etnis Melayu antara lain adalah suku Kerinci, Suku Batin, Suku Bangsa Duabelas, Suku Penghulu, Suku Pindah, dan Suku Kubu (Orang Dalam). Orang Dalam hidup menyebar di dalam hutan mulai dari wilayah pantai, dataran rendah sampai dataran tinggi yang berbukit kecil. Namun mereka tidak mendiami kawasan hutan di daerah pegunungan / Bukit Barisan karena sudah terlalu dingin. Oleh karena itu Orang Dalam tidak hidup daerah Kerinci.

Jambi merupakan salah satu propinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terletak di tengah-tengah pulau Sumatera. Propinsi Jambi sering juga disebut sebagai negeri awal Betapak Melayu Kuno dan juga sebagai pusat kerajaan Sriwijaya telah dihuni oleh Suku Kerinci, Suku Batin, Suku Penghulu, Suku Kubu, Suku Pindah, serta berbagai suku pendatang lainnya. Pada tahun 2004 Propinsi Jambi berpenduduk lebih kurang 2,5 juta jiwa terdiri dari berbagai etnis Melayu. Salah satu diantara etnis Melayu yang menghuni wilayah Propinsi Jambi adalah Orang Dalam. Orang Dalam banyak memiliki sebutan antara lain adalah Suku Kubu, Suku Anak Dalam, Anak Dalam, Orang Dalam, Orang Rimba, Orang Kelam, Besanak/Sanak, dll.

1)         Menurut Achmad Munawir Muhammad (1975) salah satu suku asli yang menempati wilayah Jambi ialah Suku Bangsa Kubu.

2)         Menurut Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Jambi (1972) Suku Bangsa Kubu di Propinsi Jambi dikategorikan sebagai Masyarakat Terasing yang dibedakan menjadi :

  1. Kelana (liar).
  2. Setengah kelana
  3. Menetap (Anak Terang).

3)         Menurut majalah “IDE” yang dirintis Mahasiswa Jambi di Bandung No.5 tahun 1983 dengan Istilah “JINAK MENETAP” dan “JINAK MENGEMBARA” dan Kelana ( liar).

4)         Suku anak dalam berasal dari orang-orang satria tidak mengenal menyerah kepada lawan, dengan berpendirian daripada menyerah lebih baik mendirikan kubu pertahanan di tengah hutan yang tidak dapat dijangkau oleh lawan kemudian orang menamakan sekelompok orang ini sebagai “SU­KU BANGSA KUBU”.

5)         Pendapat lain mengatakan bahwa masyarakat terasing di daerah Jambi berasal dari penduduk Sri­wijaya yang secara berturut-turut diserang oleh musuh baik dari luar maupun dari dalam Negeri (India, Singo Sari/Mojopahit) misalnya penduduk Mandiangin dan sekitarnya daerah Kabupaten Sarolangun Bangko yang masuk hutan.

6)         Di samping mereka yang berasal dari penduduk Sriwijaya terdapat pula suku terasing dari Suma­tera Barat (Minang Kabau) yang tidak kuat menghadapi angkatan perang Mojopahit yang begitu banyak misalnya penduduk di Merangin dan sekitarnya terletak di Muara Bungo dan Bangko me­rekapun masuk ke hutan mendirikan kubu pertahanan.

7)         Tidak mustahil pula bahwa para penyerang yang kalah perang atau tersesat atau sebab-sebab lain tetap tinggal bersama-sama masyarakat terasing sekarang ini, sebab tidak ingin kembali ke Posnya ma­sing-masing dan mereka ini sekarang tersebar di daerah Kabupaten Batang Hari Sarolangun Bangko, Tanjung Jabung dan Kabupatnen Bungo Tebo/Kerinci.

LATAR HISTORIS

Bila di kaji dari segi migrasi penduduk maka Suku Anak Dalam termasuk manusia Proto Malay atau Melayu Tua, yang sezaman dengan Suku Kerinci dan Suku Batin. Sedangkan bila dilihat dari segi kebiasaan leluhur ninik-puyang maka Suku Anak Dalam yang mendiami hutan pedalaman Jambi dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok besar.

1)       Suku Anak Dalam kelompok Sandang Atap.

2)       Suku Anak Dalam kelompok Lebar Telapak.

Suku Anak Dalam yang tergolong kelompok Sandang Atap pada umunya hidup menyebar di dalam hutan mulai dari wilayah pantai timur Jambi sampai dataran rendah. Mereka ada yang hidup menempati kawasan hutan di sebelah kanan-mudik Sungai Jambi dan ada juga yang hidup menempati kawasan hutan di sebelah kiri mudik sungai Jambi. Mereka ini disebut kelompok Sandang Atap karena bilamana mereka melakukan kegiatan melangun, maka mereka membawa serta atap sudung yang terbuat dari daun kayu lebar dari jenis Kayu Palas dan atau Sarang Kubung. Kayu ini mempunyai batang sebesar betis manusia dan tinggi sekitar 5 meter, tergolong jenis falm. Daun kayu ini lebar dan tahan lama. Lokasi permukiman Suku Anak Dalam kelompok Sandang Atap ini dapat dibedakan antara lain sebagai berikut.

1)       Kelompok Air Hitam Laut yang mendiami kawasan Sungai Benu, Berbak, dan Kumpeh.

2)       Kelompok Parit Culum, Simpang Tuan, Mendahara, Pasar Minggu, Muaro Jambi dan Jambi Kecil.

3)       Kelompok Batin Sembilan. yang mendiami 9 daerah aliran sungai (Sungai Jebak, Jangga, Bahar, Bulian / Semak), Sekisak, Sekamis, Burung Hantu / sungai Pemayung, Pemusiran dan sungai Singoan).

Kelompok Air Hitam Laut sampai saat ini masih ada yang belum hidup membaur dan belum bermukim serta belum tersentuh oleh program pembinaan pemerintah. Mereka ini pada saat ini hidup dalam kelompok kecil di hulu sungai Air Hitam Laut di lokasi Taman Nasional Berbak. Kelompok ini sejak puluhan tahun lampau tidak lagi menempati kawasan Kumpeh karena mereka sebagian besar telah hidup berbaur dengan Orang Terang dan sebagain telah bergabung dengan kelompok lainnya. Sedangkan kelompok pemukim di lokasi sekitar Parit Culum, Simpang Tuan, Mendahara, Pasar Minggu, Muaro Jambi dan Jambi Kecil telah sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia berbaur dengan Orang Terang dan sebagian lagi bergabung dengan kelompok lainnya di pedalaman Jambi terutama pindah ke kawasan Bukit Tiga Puluh.

Kelompok Batin Sembilan yang mendiami 9 daerah aliran sungai (Sungai Jebak, Jangga, Bahar, Bulian / Semak), Sekisak, Sekamis, Burung Hantu / sungai Pemayung, Pemusiran dan sungai Singoan). Wilayah penyebaran 9 daerah aliran sungai ini termasuk wilayah dengan topografi dataran rendah. Dan karena mereka hidup menyebar di 9 daerah aliran sungai seperti tersebut di atas maka mereka juga sering menyebut dirinya sebagai kelompok Orang Dalam yang termasuk Batin Sembilan.

Sedangkan kelompok Suku Anak Dalam yang tergolong Lebar Telapak hidup menempati wilayah hutan di daerah dataran tinggi yang sedikit berbukit namun mereka tidak hidup di wilayah pegunungan Bikut Barisan. Mereka ini tersebar di daerah Kabupaten Merangin, Sarolangun, Bungo, Tebo, dengan konsentrasi permukiman di Taman Nasional Bukit Duabelas, dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.

Di dalam hubungan antar etnis Melayu di Jambi maka Suku Anak Dalam termasuk salah satu etnis asli Melayu Jambi yang tentunya memiliki hubungan historis dengan lainnya. Oleh karena itu antara Suku Anak Dalam dengan Orang Terang memiliki kesamaan akar sejarah, kesamaan akar budaya, kesamaan akar bahasa, kesamaan akar adat-istiadat, kesamaan ciri-ciri fisik, dan kesamaan, dsb. Dengan dasar ini maka budaya, bahasa, adat istiadat Suku Anak Dalam di daerah Jambi adalah mewakili kebudayaan asli etnis Melayu Jambi.

Di dalam perbendaharaan bahasa Melayu Jambi khususnya bahasa Melayu yang dikembangkan oleh Orang Terang memang ada dijumpai kata “Kubu” . Kata Kubu berawal dari kata Ngubu atau Ngubun yang artinya bersembunyi di dalam hutan. Lalu timbul pertanyaan mengapa mereka bersembunyi ke dalam hutan ?.

Mereka Suku Anak Dalam memasuki wilayah hutan pedalaman Jambi diperkirakan sekitar abad 11 M karena faktor penyerangan terhadap Sriwijaya oleh Angkatan Laut Cola dari India tahun pada 1017, 1025, dan 1030 M. Serangan angkatan laut Cola yang Hindu ini berhasil melumpuhkan kerajaan Sriwijaya yang Budhis dan menyebabkan adanya perubahan di dalam kerajaan Sriwijaya. Etnis Melayu Jambi pada masa kerajaan Sriwijaya yang tidak bersedia hidup dibawah tekanan dan penjajahan kerajaan Cola yang Hinduisme itulah lalu mereka menyingkir ke hutan pedalaman Jambi. Inilah faktor awal mula proses terpolarisasinya etnis Melayu Jambi yang dikenal dengan sebutan Orang Kubu atau Orang Dalam atau Orang Rimba, atau Orang Kelam atau Suku Anak Dalam.

Pada periode yang sama disatu sisi kerajaan Sriwijaya yang Budhistis mengalami kemunduran maka dipihak lain pada periode yang sama (akhir abad 11 M) agama Islam di Jambi mengalami perkembangan pesat. Hal ini terjadi (akhir abad 11 M) sejak kedatangan seorang penyebar Islam dari Turki bernama Ahmad Barus II atau dikenal dengan Datuk Paduko Berhalo berhasil menyabrkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Melayu Jambi. Penyebaran agama Islam di tengah-tengah masyarakat Melayu Jambi ini menjadikan faktor kedua penyebab terpolarisasinya Suku Anak Dalam dan Orang Terang. Bahkan antara Orang Dalam dengan Orang Terang mengikat suatu perjanjian (piagam) dengan pembagian wilayah hukum adat antara lain adalah sebagai berikut.

1)      Suku Anak Dalam dan Orang Terang adalah bersaudara (besanak/ sanak).

2)      Suku Anak Dalam tetap akan hidup mempertahankan adat lamo (Melayu Kuno) ninik-puyang dengan segala atributnya.

3)      Suku Anak Dalam tetap hidup tidak berdusun, tidak berkampung, dan tidak bersangsko.

4)      Suku Anak Dalam akan hidup menempati kawasan hutan pedalaman Jambi dengan batas-batas adat (ulayat) terentu.

5)      Suku Anak Dalam akan patuh dan tunduk kepada Jenang dari Orang Terang.

6)      Orang Terang akan hidup memeluk adat baru (Ajaran Islam) dengan hidup berdusun.

7)      Orang Terang tidak akan mengkonsumsi makanan tradisional ninik-puyang seperti Tenuk/Tapir, babi (jukut/nangui), ular, cingkuk, dll yang dilarang oleh Islam.

8)      Orang Terang mengatur dan melindungi Orang Dalam.

Antara Suku Anak Dalam dengan Orang Terang adalah bersaudara atau disebut besanak. Mereka memiliki kesamaan latar belakang budaya, asal-usul, bahasa, dan adat istiadat antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Adanya kesamaan akar budaya, bahasa, adat istiadat, bunyi sloko adat, kesamaan ciri fisik dan kesamaan struktur masyarakat adat.
  2. Adanya kesamaan asal usul (sejarah) yakni sebagai etnis ashi Melayu Jambi yang mendiami pedalaman Jambi.
  3. Berasai dari satu keturunan dan asal-usul yang sama yakni etnis Melayu dari Proto Malay.

Tinggalkan komentar